Sekolah anti kekerasan

KEKERASAN DI SEKOLAH: PROGRAM PENDIDIKAN KARAKTER ATAU PELAJARAN BUDI PEKERTI? 

Isu kekerasan di sekolah merebak akhir-akhir ini. Dimulai dengan berita yang sangat mengagetkan dari IPDN, hingga beberapa kasus kekerasan yang ada di Sekolah Menengah maupun Sekolah Dasar. Kasus terakhir yang terjadi di SMU Negeri 34 Pondok Labu, Jakarta Selatan menunjukkan bahwa praktek kekerasan (bullying) di sekolah masih kental terjadi. Selain itu, eksistensi kehidupan ”geng” yang telah lama muncul di sudut sekolah maupun komunitas lain, dirasakan cukup memberikan tekanan bagi remaja saat ini. Berbagai macam ”geng” dengan berbagai macam tujuan memang tumbuh disela aktivitas remaja saat ini. Terkadang aktivitas ”geng” ini tak nampak namun nyata adanya. Mulai dari mencari popularitas dengan cara memberi ketrampilan dan identitas khusus pada anggotanya sampai yang berusaha memeras (bullying) pada siswa atau remaja yang lebih lemah.

 

Kenyataan di atas bukan suatu cerita yang dapat dihapus dalam waktu sesaat. Semua gambaran kejadian yang ada di dalam kasus kekerasan tersebut sangat dipengaruhi oleh “karakter” remaja. Karakter yang melekat dalam diri remaja untuk dapat menghargai dan menghormati orang lain, serta karakter untuk melakukan perbuatan yang bertanggung jawab merupakan gambaran yang hilang dari cerita di atas. Menyitir pendapat Menteri Pendidikan Nasional, bahwa cerita kekerasan di sekolah banyak diwarnai dengan absennya akhlak dan budi pekerti. Namun, muncullah pertanyaan berikutnya, siapakah yang wajib mengembangkan akhlak dan budi pekerti atau karakter siswa? Sekolah? Masyarakat ataukah keluarga?

 Karakter manusia tidak hanya dilahirkan, namun dikembangkan. Karakter dikembangkan melalui proses pengenalan ”nilai hidup” dan budaya melalui tiga lembaga utama, yaitu (1) keluarga; (2) lembaga pendidikan dan (3) masyarakat. Ketiga lembaga inilah yang akan bertanggung jawab akan terbentuknya karakter generasi suatu bangsa. Karakter merupakan satu penanda mengenai siapa diri kita sesungguhnya, bagaimana cara kita berpikir dan berperilaku. Karakter sangat ditentukan oleh apa yang kita lakukan, kita katakan, dan kita yakini (Boyatzis, 1995). Karakter dapat ditunjukkan dari tingkah laku kita saat tidak ada seorangpun yang melihat. Menurut pakar pendidikan karakter, Lickona (1991) karakter yang positif terdiri atas bagaimana seseorang dapat mengetahui kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik dan juga melakukan hal-hal yang baik.  

Belajar dari sejarah pengembangan karakter di Indonesia

Beberapa tahun, Indonesia mengembangkan program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada seluruh lapisan masyarakat. P4 diterapkan baik di tempat kerja maupun di lembaga pendidikan dalam berbagai tingkatan. Hasil pelaksanaan P4 ini ternyata kurang dapat terpatri di dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia. Beberapa analisis telah dilakukan, salah satu diantaranya menangkap permasalahan di dalam metode pembelajaran dan penyampaian P4. Proses yang dikembangkan dirasakan terlalu mengarah kepada domain kognitif, sehingga penghayatan Pancasila hanya sebatas pada hafalan semata, bukan terinternalisasi di dalam perilaku dan sikap hidup. Sebagaimana teori pengembangan karakter yang disampaikan oleh Lickona (1991) bahwa karakter merupakan konsep psikologis yang kompleks, tidak hanya terdiri dari satu domain saja, namun harus menyentuh semua domain secara lengkap, yaitu kognitif, afeksi dan psikomotor. Hasil evaluasi kedua adalah bahwa karakter tidak dapat hanya diajarkan di dalam satu waktu pelatihan saja. Program P4 hanya diberikan di awal perkuliahan, di awal sekolah dan di awal suatu pekerjaan, dalam paket 40 jam saja. Hal ini menurut Lickona (1991) tidak mencukupi untuk sampai pada ranah afeksi dan psikomotor. Saat anak berusaha belajar untuk memiliki karakter menghormati orang lain, anak perlu untuk dapat memiliki model yang secara jelas menunjukkan perilaku menghormati orang lain. Kemudian juga diikuti dengan melatih karakter tersebut di dalam aktivitas nyata, seperti halnya anak dimasukkan di dalam lingkungan yang memberikan kesempatan untuk menghormati orang lain dengan cara nyata, bukan hanya konseptual saja. Dan terakhir, anak memiliki kesempatan untuk mendikusikannya dengan orang yang memiliki karakter tersebut, secara lebih intensif.  Usaha lain di dalam di dalam mengembangkan karakter bangsa adalah disusunnya mata pelajaran budi pekerti, yang diajarkan di semua tingkatan pendidikan. Namun sekali lagi, permasalahan yang muncul tetap pada desain pembelajaran yang cenderung mengarah pada satu ranah kognitif saja. Bahkan sejalan dengan syaratnya muatan teknologi dan ilmu yang dipelajari, pendidikan budi pekerti ini telah mulai banyak ditinggalkan oleh sekolah. Desain pembelajaran budi pekerti semestinya tidak muncul sebagai suatu mata pelajaran, namun terserap sebagai muatan di setiap aktivitas pembelajaran yang didesain. 

 Usulan program pengembangan karakter di sekolah

Melalui tulisan ini diharapkan tidak lagi muncul kesalahan yang sama di dalam mengembangkan karakter siswa dengan membentuk ”mata ajaran budi pekerti” ataupun ”mata ajaran kepribadian”. Namun menjawab tantangan pendidikan karakter dengan cara terintegrasi di dalam kandungan kurikulum tertulis, hidden curriculum, serta kegiatan ko-kurikulum dan ekstrakurikuler. Artinya, karakter yang ingin dikembangkan harus terwujud di dalam kandungan setiap mata ajaran melalui tugas dan bahan kajian, juga terwujud di dalam norma serta aturan akademik. Selain itu, sekolah perlu mengembangkan kurikulum yang selama ini selalu dianggap tersier, yaitu kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler.  Hal kedua adalah bahwa pendidikan karakter tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat, dalam bentuk spot mata ajaran di awal, di tengah ataupun di akhir saja. Namun pendidikan karakter harus menyeluruh dan berkelanjutan. Selama kurikulum tersebut diterapkan, kandungan dan muatan pendidikan karakter akan juga tetap dilaksanakan. Pendidikan karakter yang hanya menekankan pada satu atau dua mata kuliah tidak akan dapat menjamin tercapainya karakter siswa yang diinginkan. Untuk itu SK Mendiknas No. 045/U/MENDIKNAS/2002, mengenai pelaksanaan kurikulum di Perguruan Tinggi merupakan satu contoh yang tepat dalam usaha pengembangan karakter. SK Mendiknas tersebut mensyaratkan bahwa tujuan akhir membentuk lulusan yang berkarakter dan berkepribadian kuat harus tertuang di dalam kurikulum serta dilakukan secara simultan dalam aspek kegiatan belajar mengajar. Ketiga adalah bahwa pendidikan karakter menuntut peran guru secara optimal. Tanpa adanya role model, karakter tidak akan dapat dikembangkan dengan baik. Peran model yang berkarakter, merupakan kunci utama di dalam pendidikan karakter. Di sekolah, role model siswa adalah guru. Oleh karena itu, di dalam proses pendidikan karakter, terlebih dahulu perlu dikembangkan guru-guru yang berkarakter. Selain sebagai role model, guru juga harus dapat menciptakan ’teachable moment’ bagi karakter yang akan dikembangkan, sehingga tercipta iklim yang kondusif untuk mengembangkan karakter.  Terakhir, tentu saja, karakter tidak akan dapat sukses dikembangkan jika hanya berasal dari sekolah saja. Perlu kerjasama yang baik antara sekolah, keluarga dan masyarakat di dalam usaha pengembangan karakter. Pendidikan karakter yang hanya dilakukan di sekolah, namun kurang diperkuat atau bahkan diperlemah oleh aturan masyarakat dan keluarga, akan mengarah kepada kebimbangan siswa didik. Keterpaduan sikap, pola pikir dan prinsip antara sekolah, keluarga dan masyarakat, menjadi hal yang sangat penting di dalam pendidikan karakter.  Sylvi DewajaniStaf Pengajar Fakultas Psikologi UGMPostGraduate Students, Fac.of Education UPM

Membangun Karakter kuat anak melalui jiwa Entrepreneurship

PENGEMBANGAN JIWA ENTREPRENEURSHIP BAGI ANAK: Kapan dan Bagaimana memulainya? Sylvi DewajaniFakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada  

Berbagai sumber menyatakan bahwa kesuksesan seseorang lebih dipengaruhi dari karakter yang dimiliki dibandingkan kecerdasan intelektualnya. Mitshubisi Research Institute (2000) menyatakan bahwa keberhasilan seseorang 40% bergantung pada soft skills yang dimilikinya, 30% tergantung pada kemampuan networking dan 20% tergantung pada kecerdasannya, baru 10% diantaranya ditentukan dari uang yang dimilikinya. Selain itu, sebagian besar keberhasilan seseorang dalam mencari pekerjaan bukan dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, melainkan kemampuan seseorang di dalam mengelola diri. Sebagian besar direktur SDM dari perusahaan besar di Indonesia, maupun perusahaan multinasional akan sepakat dengan pernyataan di atas. Oleh karena kesuksesan seseorang yang nyata-nyata dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengelola diri, maka sekolah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tersebut, bukan hanya menghasilkan lulusan didik yang cerdas intelektual saja.

 

Pada dasarnya pendidikan dimulai semenjak janin mulai terbentuk di dalam rahim sang ibu. Orang tua adalah “primary educator”, pendidik pertama dan yang utama bagi anak-anaknya. Namun demikian, di dalam perkembangannya, pendidikan perlu dibantu oleh satu lembaga yang dapat secara intensif memberikan stimulasi yang terstruktur dalam usaha menguasai suatu kompetensi tertentu, sebagai modal di masa depannya. Lembaga tersebut kemudian dikenal dengan nama “sekolah”. Jika ditilik dari tujuannya, maka sekolah semestinya memiliki tujuan untuk baik mencerdaskan sisi intelektual, maupun karakter anak. Untuk itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan semestinya tidak hanya mengarahkan kurikulumnya pada tujuan kecerdasan intelektual, namun terlebih dari itu mengembangkan karakter anak didiknya.

 

Pada saat ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya lembaga pendidikan semenjak usia dini. Bahkan dikenal dengan pendidikan di masa “golden age”, karena di dalam konsep perkembangannya, usia 2-5 tahun adalah usia ideal pembentukan “pribadi” anak, sebagai investasi psikologis masa depannya. Pendidian Anak Usia Dini, seharusnya lebih banyak menekankan pada aspek “karakter” dibandingkan aspek kecerdasan intelektualnya. Kurikulum yang dikembangkan selayaknya berkisar pada pendidikan karakter.

 

Melalui konsep pengembangan karakter yang disampaikan oleh Lickona (1991; 1997); Berkowitz (1995; 1998; 2004) dan Lee In-Jan (2001) teradapat beberapa hal yang dapat dipelajari di dalam usaha mewujudkan karakter. Hal pertama adalah bahwa pendidikan karakter harus terintegrasi di dalam suatu kurikulum. Di dalam usaha pengembangan karakter, tidak dapat hanya dilakukan melalui satu ranah saja, terutama ranah kognitif. Pengalaman program P4 merupakan satu hal yang sangat baik untuk dipelajari. Bahwa pengembangan karakter harus dilakukan secara terintegrasi di dalam kandungan kurikulum tertulis, hidden curriculum, serta kegiatan ko-kurikulum dan ekstrakurikuler. Artinya, karakter yang ingin dikembangkan harus terwujud di dalam kandungan setiap mata ajaran melalui tugas dan bahan kajian, juga terwujud di dalam norma serta aturan akademik. Selain itu, sekolah perlu mengembangkan kurikulum yang selama ini selalu dianggap tersier, yaitu kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler.

 

Hal kedua yang dipelajari adalah bahwa pendidikan karakter tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat, dalam bentuk spot mata ajaran di awal, di tengah ataupun di akhir saja. Namun pendidikan karakter harus menyeluruh dan berkelanjutan. Selama kurikulum tersebut diterapkan, kandungan dan muatan pendidikan karakter akan juga tetap dilaksanakan. Pendidikan karakter yang hanya menekankan pada satu atau dua mata ajaran tidak akan dapat menjamin tercapainya karakter siswa yang diinginkan.

 

Ketiga adalah bahwa pendidikan karakter menuntut peran guru secara optimal. Tanpa adanya role model, karakter tidak akan dapat dikembangkan dengan baik. Peran model yang berkarakter, merupakan kunci utama di dalam pendidikan karakter. Di sekolah, role model siswa adalah guru. Oleh karena itu, di dalam proses pendidikan karakter, terlebih dahulu perlu dikembangkan guru-guru yang berkarakter. Selain sebagai role model, guru juga harus dapat menciptakan teachable moment bagi karakter yang akan dikembangkan, sehingga tercipta iklim yang kondusif untuk mengembangkan karakter.

 

Pada masa krisis global sebagaimana yang dihadapi manusia saat ini, diperlukan karakter yang kuat untuk bertahan di dalamnya. Salah satu karakter yang dipilih adalah jiwa entrepreuner (entrepreneurship). Mengapa karakter ini yang dipilih? Sebagaimana kita pahami bersama makna dari entrepreneurship sendiri menurut ahli pendidik entrepreneurship, Hindle and Anghern (1998) adalah jiwa yang memiliki motivasi tinggi, toleransi terhadap resiko yang cukup tinggi, selalu ingin berprestasi, pantang menyerah, mampu menciptakan peluang, kreatif, serta memiliki kepercayaan diri dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Karakter entrepreneurship tersebut sangat cocok sebagai modal untuk dapat sukses di era global seperti saat ini. Mengembangkan karakter entepreneurship, bukan berarti menciptakan pedagang atau wira usaha, namun terlebih dari itu, jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) ini dipandang sebagai satu ciri karakter yang memiliki kekuatan pribadi dalam menghadapi tantangan dunia. Seorang dengan karakter entrepreneurship ini, diharapkan mampu menjadi penggerak kemajuan bangsa.

 Dengan menggunakan prinsip pendidikan karakter di atas, sikap dan karakter entrepreneurship akan dapat dikembangkan dengan baik. Langkah yang dapat dilakukan untuk mengembangkan karakter ’entrepreneurship adalah sebagai berikut:1)      Menetapkan karakter ’entrepreunership’ sebagai satu visi lembaga pendidikan kita, dan melakukan persamaan persepsi tentang deskripsi operasional tersebut. 2)      Mensosialisasikan sikap dan nilai ’entrepreneurship’ kepada seluruh sivitas akademika sekolah, termasuk orang tua dan stakeholder3)      Menurukan visi ’entrepreneurship’ ke dalam praktik kehidupan sehari-hari di sekolah, melalui: (a) penetapan aturan berserta sanksi yang berkait dengan karakter entrepreneurship dan diterapkan pada setiap anggota sekolah kita; (b) mengembangkan poster, banner dan berbagai atribut yang dapat mengingatkan anggota sekolah akan karakter entrepreneurship; (c) mengembangkan aktivitas sekolah yang mengandung nilai ’entrepreneurship’, baik dalam aktivitas protokoler maupun kegiatan penunjang lainnya4)      Mengembangkan ’role model’ dari karakter entrepreneurship dimulai dari Kepala Sekolah dan Manajer Sekolah lain, Guru dan Pegawai administrasi. Role model harus selalu mempraktekkannya pada setiap kesempatan, sehingga dapat terlihat dan dimaknai oleh siswa.5)      Mendesain proses pembelajaran dan penugasan yang memiliki kandungan nilai dan karakter entrepreneurship. Setelah tugas dikumpulkan, disediakan sesi refleksi untuk menginternalisasikan proses yang telah terjadi.6)      Mengembangkan aktivitas yang melibatkan orang tua siswa dalam proses peningkatan nilai dan karakter entrepreneurship.  

Perlahan namun pasti, proses peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia pun akan terwujud, dimulai dari pendidikan yang paling dini. Tentu saja di akhir paper ini, masihlah perlu disampaikan bahwa kualitas generasi suatu bangsa, sangat bergantung pada keterpaduan 3 institusi, yaitu institusi keluarga, sekolah (pendidikan) dan masyarakat. Dengan demikian, optimisme ke arah Indonesia yang lebih aman, nyaman, damai dan sejahtera dapat terwujud, karena memiliki SDM yang handal.

Mendidik Anak Menghormati Orang Lain: modal perdamaian bangsa

MENDIDIK ANAK MENGHORMATI  ORANG LAIN (the heart of peaceful world): BAGAIMANA DAN KAPAN MEMULAINYA? Sylvi Dewajani*)Faculty of PsychologyGadjah Mada University 

Menghormati orang lain adalah inti nilai hidup yang dapat membentuk dunia yang aman dan damai, jauh dari peperangan dan kebencian. Menghormati orang lain adalah karakter yang perlu dikembangkan kepada anak. Makalah ini akan membahas kapan waktu terbaik memulai mengembangkan karakter dan bagaimana cara mengembangkannya. Dengan mengadakan beberapa studi literatur pada beberapa konsep mengenai pengembangan karakter, paper ini diharapkan dapat menyumbangkan satu alternatif bagi bangsa lembaga pendidikan, keluarga maupun masyarakat Indonesia, strategi untuk mengembangkan karakter.

 Karakter manusia tidak hanya dilahirkan, namun dikembangkan. Karakter dikembangkan melalui proses pengenalan ”nilai hidup” dan budaya melalui tiga lembaga utama, yaitu (1) keluarga; (2) lembaga pendidikan dan (3) masyarakat. Ketiga lembaga inilah yang akan bertanggung jawab akan terbentuknya karakter generasi suatu bangsa. Karakter merupakan satu penanda mengenai siapa diri kita sesungguhnya, bagaimana cara kita berpikir dan berperilaku. Karakter sangat ditentukan oleh apa yang kita lakukan, kita katakan, dan kita yakini (Boyatzis, et.al. 1995). Karakter dapat ditunjukkan dari tingkah laku kita saat tidak ada seorangpun yang melihat. Lebih jauh, pakar pendidikan karakter, Lickona (1991) mendefinisikan bahwa karakter yang positif terdiri atas bagaimana seseorang dapat mengetahu kebaikan, memiliki keinginan untuk berbuat baik dan juga melakukan hal-hal yang baik. Menurut Lickona (1991) terdapat beberapa karakter yang penting di dalam kehidupan kita, yaitu: tanggung jawab, kejujuran, menghormati orang lain, berlaku adil, kerjasama, toleransi, dan lain-lain. Bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari multikultur dan multi religi, maka karakter ”menghormati orang lain” akan sangat penting. Karakter ”menghormati orang lain” perlu untuk dimiliki sebagai dasar perilaku dan sikap hidup bangsa Indonesia.  Karakter mulai berkembang semenjak bayi dilahirkan, atau bahkan lebih awal sebelum itu saat pre-natal. Pada setahun pertama kehidupan bayi, telah berkembang kemampuan untuk memahami orang lain. Bayi pada masa tersebut telah dapat mengembangkan rasa empathy yang sederhana (Damon, 1998). Kemampuan empathy ini merupakan modal dasar bagi pengembangan karakter ”menghormati orang lain”. Menurut Damon (1998), kemampuan empathy ini sangat dipengaruhi oleh kelekatan anak dengan orang tua atau figur lekat yang lain, yang dapat memenuhi tugas perkembangan membentuk ”basic trust” yaitu kepercayaan bahwa dunia di luar dirinya aman dan bermafaat untuk dirinya (Erickson, 1968). Selanjutnya pada masa kanak-kanak sekolah, anak akan mengembangkan ketrampilan untuk melakukan ”perspective taking” (Berkowitz, 1998). Dan akhirnya pada masa remaja telah dimulai perkembangan moral reasoning dan moral identity. Sebagaimana disebutkan di dalam paragraf di atas, sekolah merupakan salah satu lembaga yang bertanggung jawab akan pengembangan karakter generasi bangsa. Apakah hal ini juga dapat diartikan bahwa sekolah harus mengajarkan karakter ”menghormati orang lain” melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler? Ataukah melalui pendidikan moral yang diajarkan di kelas, karakter telah dapat terbentuk? Atau diperlukan cara lain untuk mengembangkan karakter anak. Secara khusus pada konvensi UNESCO tahun 1999 menetapkan bahwa pendidikan harus mengarah kepada pendidikan yang paripurna. UNESCO (1999) menetapkan 4 pilar pendidikan yang terdiri atas: (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together. Aspek pertama dan kedua di dalam keputusan konvensi UNESCO (1999) ini sarat dengan domain kognitif dan ketrampilan. Namun pada aspek ke tiga dan keempat lebih mengarah kepada domain afeksi yang mengarah pada pembentukan karakter. Di Indonesia, tahun 2003 ditetapkan UU SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) No. 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa visi pendidikan Indonesia adalah: (1)   mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (3) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (4) meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai  berdasarkan standar nasional dan global; dan (5) memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(dikutip dari UU No. 20/2003 tentang SISDIKNAS INDONESIA halaman 25) Dengan kedua dasar hukum tersebut, sekolah dirasa perlu untuk mengembangkan model pendidikan yang dapat mengarah pada lulusan yang berkarakter. Tidak hanya memiliki kecerdasan secara kognitif saja. Pada tingkat Perguruan Tinggi, yang dituangkan di dalam Higher Education Long Term Strategy (2003 – 2010) dinyatakan secara tegas bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk Insan Cerdas dan Kompetitif. Maksud dari dari kalimat tersebut adalah bahwa selain mengembangkan lulusan yang cerdas, juga membentuk kepribadian kuat yang mampu berkompetisi di lingkup di lingkup internasional. Perlu dipikirkan, model pendidikan yang mampu mewujudkan visi dan tujuan pendidikan Indonesia tersebut. Pada intinya, menurut Lickona (1998) anak akan dapat mengembangkan pemahaman mengenai karakter, dengan cara mempelajari dan mendiskusikan karakter tersebut, mengamati perilaku model yang memiliki karakter positif dan memecahkan permasalahan yang memiliki kandungan moral dan karakter yang cukup tinggi. Pada saat anak berusaha belajar untuk memiliki karakter menghormati orang lain, anak perlu untuk dapat memiliki model yang secara jelas menunjukkan perilaku menghormati orang lain. Kemudian juga diikuti dengan melatih karakter tersebut di dalam aktivitas nyata. Dan terakhir, anak memiliki kesempatan untuk mendikusikannya dengan orang yang memiliki karakter tersebut, secara lebih intensif. Peran dan pengaruh orang tua melalui pola asuh yang dipilih, peran sekolah dalam membentuk insan yang cerdas dan berkepribadian, serta peran masyarakat dalam menyaring dan menyediakan model karakter akan dibahas secara detail dan bertahap di dalam makalah ini.  Daftar Pustaka: 

Berkowitz, M. & Bier, M. (2004). What works in character education: A research driven guide for teachers. Washington DC: Character Education Partnership

 Boyatzis, R.E; Cowen, S.S; Kolb, D.A; and Associates; 1995 Innovation in Professional Education: Step on a Journey from Teaching to Learning; San Fransisco : Jossey-Bass Publishers Erickson, E.H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: Norton 

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books

 Lickona, T., (1997). Educating for Character: The School’s Highest Calling. Georgia Humanities Council. Atlanta, Georgia